Lagu-lagu tentang kematian

Hidup dalam suaka tak berbeda arti dari kematian yang dihidupkan.

Pemujaan sebelum rehat, juga perintah panjang tentang raga manusia merupakan sebuah misi untuk bertahan menjelang kematian.


Aku membuka tirai setiap pagi dan sore saja, konon malam adalah cara malaikat menjemput nyawa yang sudah siap di setiap luar-luar jendela.

Ibu ajarkan aku untuk tetap diam, sakitpun diam.


Gemetar-gemetar, teriakan massal.

Kata ibu, kunci pintu.

Jangan berikan kehidupan kepada penghuni baru.

Sejak kecil aku sering membisikkan diriku sendiri tentang rahasia apa di balik bumi kepada manusia, 

sebelum ia benar-benar memutuskan untuk membenci penghuninya.


Beranda, meja, lemari ayah, barangkali ibu ingin mengisinya kembali dengan hasil rampasan milik seseorang yang telah mati dimakan pikiran.

Aku tidak pernah bertanya apapun, sebesar pertanyaan rahasia-rahasia yang dimiliki bumi di luar sana.


Lawas dan waktu jadi magnet tentang hilangnya manusia-manusia yang tidak selalu siap menjelang kekosongan. 

Harusnya sebelum mati mereka sudah punya pasangan dan anak seperti ibuku.


Orang tua, orang biasa, pemuda dan pemudi.

Semuanya dijamu lenyap. 

Tidak ada esok lagi bagi mereka yang senang menilik jendela pada malam hari.

Tentu saja ibuku benar.


Lagu-lagu kematian di gereja, dan doa-doa dari masjid yang terlampau jauh, 

jelas semua suara tersebut bernama pedih.

Seperti matahari yang akan tenggelam selamanya esok hari, 

yang tersisa hanyalah debu dari bulan.


Semua diputuskan untuk berdiam. 

Tak ada lagi waktu berkelana mencari rahasia-rahasia bumi sebelum membenci manusia.


Pemujaan sebelum rehat, 

juga perintah panjang tentang usaha perih melewati kehidupan berbahaya.

Bunyi riuh kini tak akan selesai, bersiaplah dijemputnya nama-nama ‘tuk lekas pergi berlayar jauh ke awan. 

Komentar

Postingan Populer