Bukan Sepenggal Surat Cinta
Mengenalmu serupa mengetahui bahwa nafasku akan diperpanjang 150 tahun lagi. Bunga bunga bermunculan di depan mata seraya menaburkan sari sarinya ke atas tanah basah. Sorotan matamu dan harum nafasmu—bagai hilir angin dari ombak laut pada malam hari, mewangi dan hangat.
Aku tidak akur dengan diriku sendiri semenjak kau mengajakku berjalan terus menerus. Seperti perang dalam dada, berdegub, memusingkan, sesak. Sesak? Menyesakkan untukku mengetahui bahwa aku sulit dalam kendali sadarku setiap menghadapmu. Mungkin memang Tuhan betul betul merancang engkau untuk bagian terdingin dari diriku. Mungkin juga memang kau dan aku pernah tercipta menjadi sepasang burung merpati, maka aku harap begitu sampai kita mati.
Kekasih, sungguh kau adalah perwujudan alegori hidupku di bumi ini. Jika kau pergi meninggalkan aku, maka temanku selanjutnya hanyalah kematian. ‘Ku beri tahu sedikit, bahwa tulisan ini bukan merupakan kontemplasi runut, hanya ulah hormon endorphin yang tetiba terjadi di kantor pukul hampir 5 sore.
Kau itu? Yang benar saja—aku bahkan tidak bisa mendefinisikan kau itu apa. Ada banyak nama di kepalaku yang tidak cocok dengan sosokmu. Apa ini karena aku sangat mencintaimu bahkan ketika kamu sedang mengorok? Ketika kamu sedang mengupil? Atau bahkan ketika uangmu hilang ‘tak tersisa dimakan rayap.
Jalan menuju apapun dan ke manapun, jika kau di belakangku atau di depanku, aku marah. Maka, teruslah di sampingku. Banyak seketika, yang tiba-tiba muncul di otakku dalam bentuk narasi bodong, tak tahu asalnya dari mana. Aku memastikan itu harus jadi urusanmu. Aku tidak mau terganggu dari segala kalimat bimbang dan gamangku—maka teruslah berucap kau mencintaiku walaupun aku adalah siluman tupai atau semut merah yang suka menggigitmu karena kau terlalu manis.
Oh, ini bukan surat cinta. Aku memang betul mencintaimu ‘tak karuan, kau ‘pun begitu. Bahkan jika aku dan kamu berubah menjadi sekecil atom atau energi bebas yang tidak bisa dihitung dengan teori kuantum sekalipun,
aku dan kamu akan tetap sama sama menyatu ditelan cinta.
Jika kau bertanya apa satu keinginanku kepada sang Esa, “tetaplah bersamaku memakan kerupuk kulit dan meminum ice matcha tea di siang hari, selamanya. Walaupun nanti kau hanya sisa debu—aku tak apa. Aku akan dan tetap, selalu mencintaimu, sampai masa yang ‘tak terhingga”.
Komentar
Posting Komentar