Alegoría
Aku memijakkan kakiku pada tanah basah sambil kupegang bunga layu, ranting rapuh, angin semilir yang menghardik,
tak apa fikirku masih ada air yang mengering, mentari yang tak lagi terik, rumah tak beratap, kulit tak berbaju, serta harum yang tak lagi sama.
Sekali lagi, tak apa fikirku,
selalu masih ada bencana, badai dan kesusahan yang diciptakan sendiri hingga semua tidak lagi merasakan ke bagian awal.
Malam yang menusuk, subuh yang membeku, pagi yang terasa panjang, hingga tak kurasa lagi suam-suam mentari siang dan cantiknya lukisan awan yang memutuskan untuk bersua indah dengan setiap insan yang menilik, sebelum memutuskan pergi menjemput malam.
Satu-satunya yang mungkin masih bisa aku peluk adalah memori tentang bagaimana kutemukan hangat-hangat dekap yang melemahkan, puisi-puisi tentang tidur nyenyak, hari yang panjang tanpa sepi-sepi, sang pengembala, sang pengembara, sang pencipta dan tari-tari di dunia.
Lekas apa yang kini dituju?
Semua hilang.
Hanya tersisa basah, rapuh, dingin, harum yang tak sama.
Pada akhirnya bertahan tak lagi diharap.
Sungguh hari ini yang terus berjalan ialah mengharapkan masih ada harap.
“Akulah takdir.”
“Aku akan menulis sebuah kesakitan, kepedihan, penyiksaan,
tapi jangan tanyakan sebuah akhiran,
karena takdir hanya mengisahkan.”
“Akulah takdir.”
“Aku akan menulis sebuah kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan,
tapi jangan tanyakan sebuah akhiran,
karena takdir hanya mengisahkan.”
“Aku lah takdir, kau sang awalan.”
Komentar
Posting Komentar