Gusar

“Kapan kau pulih?” 

Tanya seorang pukul 23.00.

Ruang berwarna jingga itu senang menyala, 

tak jarang meredup tatkala tuannya meminta suar.

Bunyi kaki di pikiran tuan tiada henti melangkah ke segala arah.

Tuan mengimani bahwa kelak akan berhenti,

Walau taatnya kini sudahlah lelah.


Berjalan tuan mengikuti gita-gita tersebut,

sepintas dia dengar, dia rasa memang miliknya;

Kupaksa aku tenggelam dalam kau yang pernah kusebut lara.”

“Sayang, 

demi kasih-kasih yang dahulu,

kuhambakan diriku sekali lagi,

biarlah bernestapa aku.


Seorang dewi bak tirani melempar senyum paling sempurna di pikiran tuan,

kemudian ditinggalnya lagi di pelataran.


Terengah-engah tuan memerah dalam sisa kalimat dan harap merana yang bersusah hati.

Sungguh dalam pangkuan diri sendiri, 

Dicampakannya kini segala duka mencinta di jagad raya paling asing.


Sayup-sayup tergambar kematian tuan,

Tak lagi gusar, tinggal lengang tak bertepian.


Kembali dalam ruang berwarna jingga bersisa remang,

tak pernah terang kendati tuannya senang benderang.

Terbangun tuan dari tidur panjang, terlupa pernah hampir mati.

Harapnya sekali ini, 

pulihlah, tenang— abadi.


Komentar

Postingan Populer