Kelana
Rabu itu aku berjalan menuju kotamu.
Kulihat beberapa pondok, rumah, pohon— usang, tetapi masih ada.
Satu-satunya yang hilang adalah penghuninya.
Lawas dan harum kotamu masih terasa sama,
angin yang menghardik, lembab tanah yang terpijak, pula suara ngengat yang terasa merasuki memori seribu tahun lalu— sungguh kutau.
Termenung aku sebentar— duduk di antara susunan-susunan dirimu yang punah tiada.
Rabu itu aku berjalan menuju kotamu.
Sepasang arloji tua— dari 1000 tahun yang lalu, masih gagah tampaknya— tidak menyala tetapi menunjukkan pukul lima.
Separuh aku mengingatnya— dua sejoli menanggalkannya ‘tuk coba pergi ke bulan.
“Waktu memang lekang— tetapi kisah mereka tidak”.
Sungguh bernestapa bahwa aku tidak mendapatimu walau sedikit.
Kususuri hingga ke bukit, yang kudapat hanya sisa sisamu dari 1000 tahun yang lalu.
Oh— terlampau jejak yang kau tapaki memang nir tampak rupanya.
Rabu itu aku berjalan menuju kotamu.
Tepatlah hari ini, 1000 tahun lamanya kau tinggalkan aku menuju bulan.
Cahaya matamu yang tidak pernah pudar, kekal membawaku di rabu keseribu.
Oh kasih— usailah di sini kelanaku,
Bermukimlah kau pada telaga keabadian.
Terharu🥺
BalasHapusHmmm...
BalasHapus