Air dan Mata Tuan
Hari ini matahari terlambat terbenam.
Aku tak sempat melihat perangai langitnya yang indah nan tenang— melampaui eloknya segala mimpi di kepalaku.
Hari ini kekasihku menuliskan puisi untukku— tetapi ia juga akan terlambat tiba.
Sementara aku di dalam, gelisah melantunkan kalimat kesunyian hingga jendela kehilangan semua cahaya.
Hari ini aku berdoa kepada Sang pencipta alam— agar kau dan aku tidak sedang tertukar dengan tubuh lain.
Sementara air deras dari langit di luar, aku yakin dia bukan mata-mata tuan yang membuatmu hidup—
satu-satunya empunyamu adalah kasih dariku, bukan?
“Masing-masing kita adalah kekosongan.
dalam perjanjian kita, terselip pengingkaranku yang akan membuatmu bersedih di suatu kelak…”
“Kita bercumbu di antara hembusan nafas kau dan aku, menuangkan cahaya ke mata satu sama lain— tetapi aku tidak pernah ada di sana,
aku tidak pernah ada di sana.”
18.53– kau hantarkan puisi kepadaku perihal pesan untuk kau pergi.
tak apa, aku tidak kecewa— tetapi mengapa kau terlalu lama sehingga jendelaku kehilangan semua cahayanya?
kini aku jelas mendengar deraknya.
air deras dari langit di luar dan mata-mata tuanmu, berhasil mengembalikanmu dari yang bukan empunyamu.
Barangkali kau memang sudah terlalu sakit untuk bertahan.
Karena ada kalanya mencintai itu seperti puisi— tahu kapan harus berhenti.
“Rawatlah dendammu di dalam aku, bersorak ria lah atas pemakamanku” guratmu di akhiran.
Komentar
Posting Komentar