Lampu-Lampu Kota
Angin selatan menghardik aku yang sedari tadi termenung.
Jalan-jalan ramai, lalu-lalang pekerja.
Semua seharusnya tampak ‘tak asing,
pula suara bising yang selalu diriuhkan ke segala penjuru kota, sisi metrolopis,
memang seharusnya tampak tidak asing.
Malam ini pukul 19.00.
Tutur apa yang aku peroleh sehingga aku masih berkutat dengan pikiranku?
Pulang adalah pilihan kedua setelah aku paham bagaimana tidak warasnya aku berada dalam bangunan manusia yang selalu ‘tak sabar terhadap sepi.
Aku mengurung diriku sendiri di dalam kota malam ini.
Sudah kupikirkan baik-baik sejak pulang adalah pilihan kedua.
Aku putuskan ‘tuk melepaskan sepatuku, aku lempar mereka ke arah acak “biarlah bertelanjang kaki aku, selama ini yang kupijak ialah beban. Enak saja bertahun lamanya kau mendiami pijakanku yang seringnya tidak kukuh ini”.
Aku bernyanyi 3 lagu dalam pikiranku sambil kucermati mengapa segerombolan manusia necis tersebut tampak nirbahagia? atau hanya tafakurku saja?
Malam ini pukul 21.00.
Tutur apa yang aku peroleh sehingga aku masih terdiam di antara barisan lampu-lampu kota?
“apa yang salah dariku? mengapa bahagia harus dipungut dari pagi hingga malam dengan beban pada kaki dan parfum mahal yang bahkan tidak satupun mengacuh?”
O— sungguh bernestapanya.
Apakah disebut hidup jika sepanjang nafasku dipakai untuk mengekstensikan panjang nafas subjek lain?
O— sang Esa.
Aku tersadar.
Bahkan aku bukan pendera pertama.
Jauh sebelumnya,
pemangkuku telah memikul beban serupa.
Malam ini pukul 22.30.
Aku mengurung diriku sendiri di dalam kota.
Kulihat penuh,
ternyata bahkan aku sudah sebaris berlima.
Mungkin sudah diputuskan baik-baik,
sejak pulang adalah pilihan kami kedua.
Komentar
Posting Komentar