Merayakan Kematian
Bapak mengantarkanmu pergi lebih awal.
Di bawah langit abu,
air dari atasmu hampir terjatuh,
bunga kemboja layu menapaki tanah.
Dalam keramaian kulihat sepasang mata melahap kesedihan,
dalam keramaian pula kulihat 10 mulut menghantarkan suka ria.
Di bawah langit abu,
air dari atasmu hampir terjatuh,
bunga kemboja layu menapaki tanah.
Dalam keramaian kulihat sepasang mata melahap kesedihan,
dalam keramaian pula kulihat 10 mulut menghantarkan suka ria.
Aroma khas di atas rumah barumu,
membuat isak.
Seperti sedang mengantuk, mata mereka terlihat setengah tertutup.
Di antara sekawanan duka, tiba-tiba bapak teringat lagu kesukaanmu.
Bapak membungkuk, dalam pekatnya bola mata itu, tergerus sudah segala air matanya.
Setengah mati dirasakannya pilu dalam hidup yang masih panjang.
Bapak membungkuk, dalam pekatnya bola mata itu, tergerus sudah segala air matanya.
Setengah mati dirasakannya pilu dalam hidup yang masih panjang.
Lantunan lagu-lagu itu, tidak menutupi seribu duka pada satu kematian.
Sejatinya, manusia itu dalam penantian.
Menanti kapan giliran akan dirayakan.
Berjalan setiap hari,
bangun pagi-pagi,
melewati malam hari,
bangun tiap pagi.
Sejatinya, manusia itu dalam penantian.
Menanti kapan giliran akan dirayakan.
Berjalan setiap hari,
bangun pagi-pagi,
melewati malam hari,
bangun tiap pagi.
“Kapan giliran aku ditangisi di tepi peti?”
Sore runtuh, bapak pulang ke rumah.
Tak seorangpun memeluk, kecuali sunyi dan memori pukul 2 pagi—bapak sedang tidak bermimpi.
Komentar
Posting Komentar